Garudaxpose.com | Probolinggo – Gelombang desakan publik terhadap dugaan kasus asusila di salah satu pondok pesantren di Kabupaten Probolinggo semakin menguat.
Enam lembaga masyarakat lintas organisasi menyatakan sikap tegas untuk terus menuntut penutupan total pesantren yang diduga kuat menjadi tempat praktik tak senonoh oleh oknum pengasuhnya.
Enam lembaga tersebut terdiri dari LIBAS 88, Lembaga Investigasi Negara (LIN), LHLPTN, GAPKM, AMPP, dan Madas Nusantara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pernyataannya, mereka menegaskan komitmen untuk mengawal proses hukum hingga tuntas serta memastikan pondok pesantren itu tidak lagi beroperasi.
“Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang semula dijadwalkan lebih awal kini diundur menjadi hari Rabu,” ujar Ust. Muhyiddin, juru bicara dari enam lembaga tersebut, Kamis (30/10/2025).
“Perubahan jadwal ini karena pihak Polres sudah menaikkan status perkara ke tahap penyidikan. Artinya, dalam waktu dekat tersangka akan segera ditangkap.
Muhyiddin menjelaskan bahwa dalam RDP mendatang, sejumlah pihak penting akan turut hadir, di antaranya, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Dispendukcapil, serta beberapa instansi pemerintahan terkait lainnya.
“Tujuan kami jelas, bukan sekadar menunggu proses hukum berjalan, tetapi juga menuntut penutupan pondok pesantren tersebut. Lembaga pendidikan seharusnya menjadi tempat membentuk akhlak dan moral, bukan dijadikan ajang pemuas nafsu oleh oknum pengasuhnya,” tegasnya.
Ia menegaskan, perjuangan mereka bukan didasari kepentingan tertentu, melainkan demi menjaga marwah pesantren sebagai simbol pendidikan moral umat. Menurutnya, kasus ini telah mencoreng nama baik dunia pendidikan Islam dan menimbulkan keresahan di masyarakat.
“Kami tidak masuk angin. Permintaan pihak keluarga korban memang telah diakomodasi, tetapi perjuangan kami belum selesai. Kami tetap fokus pada penutupan pondoknya demi menjaga nama baik pesantren di mata publik,” tegas Muhyiddin.
Sementara itu, sejumlah elemen masyarakat juga menyerukan agar aparat penegak hukum bertindak cepat dan transparan.
Mereka menilai, jika benar ada praktik asusila di lingkungan pendidikan keagamaan, maka hukuman berat harus dijatuhkan sebagai efek jera.
Masyarakat berharap, kasus ini menjadi momentum pembenahan lembaga pendidikan berbasis keagamaan agar tidak lagi terjadi penyimpangan yang merusak kepercayaan publik.












